Dalam dunia terjemahan, seorang penerjemah memiliki atau terikat oleh suatu kode etik. Kode etik tersebut ialah impartiality. Maknanya seorang penerjemah dalam menjalankan profesinya mengalihkan pesan dari bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa), tidak boleh memihak ke salah satu pihak; penulis atau pembaca, pembicara atau pendengar. Pada i-teks yang bersifat netral tentu kode etik ini tidak me timbulkan dilemma. Sebelum menerjemahkan, seorang Penerjemah harus mengetahui untuk siapa (audience design) dan untuk tujuan apa (needs analysis) dia menerjemahkan. Proses ini merupakan salah satu proses yang tidak dapat abaikan dalam menerjemahkan karena merupakan proses awal dalam menentukan metode penerjemahan yang dan dan harus digunakan. Setelah mengetahui audience design dan needs analysis seorang penerjemah harus mengetahui langkah-langkah penerjemahan yang biasa disebut sebagai prosedur penerjemahan (Hoed, 2006: 67).
Penerjemahan merupakan reproduksi pesan yang tekandung dalam TSu. Hoed (2006: 83) mengutip pernyataan Basnett dan Lefevere bahwa apapun tujuannya, setiap reproduksi selalu dibayangi oleh ideologi tertentu. Ideologi dalam penerjemahan adalah prinsip atau keyakinan tentang betul-salah dan baik-buruk dalam penerjemahan, yakni terjemahan seperti apa yang terbaik bagi masyarakat pembaca BSa atau terjemahan seperti apa yang cocok dan disukai masyarakat tersebut.
Ideologi yang digunakan penerjemah merupakan tarik-menarik antara dua kutub yang berlawanan, antara yang berorientasi pada BSu dan yang berorientasi pada BSa (Venuti dalam Hoed, 2006: 84), yang oleh Venuti di kemukakan dengan istilah forcingnizing translation dan domesticating translation. Berikut adalah uraian mengenai kedua hal tersebut dengan berlandaskan pada paparan Hoed (2006: 83-90). Dua hal yang harus diperhatikan dalam penerjemahan yakni ideologi penerjemahan dan penerjemahan ideologi. Ideologi penerjemahan adalah keyakinan tentang yang benar dan salah dalam penerjemahan meliputi strategi atau metode yang dilakukan oleh penerjemah yaitu foreignisation dan domestification. Penerjemahan ideologi mengacu pada seberapa jauh mediasi dilakukan oleh seorang penerjemah ketika berhadapan dengan teks sensitive Yaitu memasukan pengetahuaan, ideologi dan keyakinan penerjemah ke dalam teks terjemahan.
Ideologi Foreignisasi (Foreignizing ideology)
Foreignizing translation adalah ideologi penerjemahan yang berorientasi pada BSu, yakni bahwa penerjemahan yang betul, berterima, dan baik adalah yang sesuai dengan selera dan harapan pembaca, penerbit, yang mengingin kan kehadiran kebudayaan BSu atau yang menganggap kehadiran kebudayaan asing bermanfaat bagi masyarakat. Penerjemah sepenuhnya berada di bawah kendali penulis TSu. Di sini yang menonjol adalah suatu aspek kebudayaan asing yang diungkapkan dalam bahasa pembaca. Sekait dengan Diagram-V dari Newmark, metode yang dipilih biasanya juga metode yang berorientasi pada Bsu, yaitu cenderung menggunakan jenis penerjemahan setia dan penerjemahan semantik.
Terkait dengan ideologi ini, sebagai ilustrasi seorang penerjemah yang bekerja pada biro Jasa Penerjemah tidak menerjemahkan kata-kata Mr. Mrs. Mom, Dad dan sejumlah kata asing lainnya dalam penerje mahan dari bahasa Inggris dengan alasan sapaan seperti itu tidak lagi asing bagi pembaca Indonesia, hal ini meru pakan ciri bahwa penerjemah tersebut penganut ideologi Foreignizing Translation. Alasan lain yang dapat dikemuka kan adalah agar anak-anak memperoleh pengetahuan ke budayaan lain.
Ideologi Domestikasi (Domesticating Translation)
Domesticating translation adalah ideologi penerjemahan yang berorientasi pada BSa. Ideologi ini meyakini bahwa penerjemahan yang betul, berterima, dan baik adalah yang sesuai dengan selera dan harapan pembaca yang menginginkan teks terjemahan yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat BSa. Intinya, suatu terjemahan diharapkan tidak terasa seperti terjemahan. Terjemahan harus menjadi bagian dari tradisi tulisan dalam BSa. Oleh karena itu, penerjemah menentukan apa yang diperlukan agar terjemahannya tidak dirasakan sebagai karya asing bagi pembacanya. Sekait dengan Diagram-V dari Newmark, biasanya metode yang dipilih pun adalah metode yang berorientasi pada BSa seperti adaptasi, penerjemahan idiomatik, dan penerjemahan komunikatif.
Bagi penganut ideologi domesticating kata-kata asing seperti M, Mis the Asst dan sebagainya harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar keseluruhan terjemahan hadir sebagai bagian dari bahasa Indonesia sehingga berterima di kalangan pembaca BSA la akan bersusaha memperkenalkan kebudayaan Indonesia pada dunia luar karena baginya penerjemahan yang betul adalah yang berterima dalam BSa dan tidak menghadirkan sesuatu yang asing.
Kecenderungan ini sudah dikemukakan pula oleh pakar teori penerjemahan Nida dan Taber dalam Hoed (2006 SI) yang secara tegas mengemukakan bahwa penerjemahan yang baik berorientasi pada keberterimaan dalam bahasa pembacanya. Kedua pakar ini dipandang sebagai ideologi yang berorientasi pada kebudayaan BSa atau domestication.
Kedua ideologi ini merupakan salah satu masalah pilihan dalam penerjemahan, merupakan penentuan cara pandang dan hal ini merupakan tahap yang cukup penting dalam penerjemahan. Memilih ideologi foreignizing atau domesticating translation lain tidaklah salah, karena keduanya mewakili aspirasi yang ada dan telah disepakati di kalangan masyarakat dan tentu saja disesuaikan dengan need dan audience analysis.
Baca juga : Jasa Penerjemah Tersumpah